Menyelami Pesan Hamka Pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - Sebenarnya ingin membahas film terbaru tentang Buya HAMKA film biografi beliau yang baru dirilis tahun ini 2023. Tapi link tak jua kami jumpai di goole, bahkan dunia 21 belum mengkoleksinya 😀. Begitulah tinggal di Desa jauh dari Bioskop 😎.
Kita akan bahas kali ini film Tengelamnya Kapal Van Der Wijck yang diadaptasi dari Novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh seorang Ulama dan juga sastrawan Ranah Minang H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan HAMKA. Meminjam referensi dari Wikipedia Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Diterbitkan dalam bentuk Novel pada tahun 1939.
Kritik Keras HAMKA atas Adat Minang Kabau
Sepintas lalu film ini terkesan hubungan anak muda antara Zainuddin dan Hayati dengan konsep cinta
termehek-mehek tok.
Hayati : "Zainuddin, saya sudi menanggung segenap cobaan yang menimpa diriku, asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku"
Zainuddin :"Maaf.. Kau reggas segenap pucuk pengharapanku, kau patahkan, kau minta maaf?"
![]() |
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck |
Tapi kalau kita bayangkan ada sosok yang berdiri dibelakang Film ini, sosok ulama besar yang melahirkan karya luar biasa Tafsir Al Azhar. Tentu kita akan berfikir? mungkinkah film ini hanya kisah romansa termehek-mehek tok? Pasti ada sesuatu pesan yang besar yang ingin disampaikan Buya HAMKA. Ia ingin mengkritik keadaan sosial terhadap tradisi yang tertanam pada masyarakat Minang Kabau dalam tanda kutif "Waktu itu" tentang strata sosial yang distandarkan. Ini terbukti lamaran Zainudin ditolak dan dipandang sebelah mata oleh keluarga Hayati hanya karena Zainudin tidak keturunan tulen Minang Kabau. Disamping harta jabatan keturunan bangsawan yang tidak sepadan.
Prinsip tolong menolong yang nyaris tak terlihat. Seorang tokoh Zainudin yang terkena musibah malah dihinakan bukan ditolong, padahal Zainudin adalah anak laki-laki dari saudara mereka. Lantaran pendekar sutan (Ayah Zainudin) menikah dengan perempuan non Minang Kabau. Sehingga Zainudin menjadi objek kebencian dimasyarakatnya.
Hamka menyuarakan kritiknya lewat Tenggelamnya Kapal Van Derwijck terhadap adat kebudaayaan minang kabau yang dinilainya menghalangi semangat persatuan bangsa. Seakan-akan HAMKA ingin berpesan bahwa Indonesia perlu meminggirkan egosentrisme kesukuan. Hamka melakukan kritik sosial dengan kisah Zainudin Hayati semata-mata untuk kemajuan bangsa dan negara yang saat itu masih terjajah.
Film ini patut diapresiasi karena telah berani membuka mata kita mengenai adat, tradisi dan keagamaan. Mengandung pesan moral agar manusia terus bangkit dalam kedaan apapun. Yaitu ketika Zainudin memutuskan untuk merantau ke tanah jawa, membuka halaman baru dalam hidupnya dengan menjadi Penulis terkenal.
Ktitik sosial terhadap adat istiadat yang menghambat fitrah sebagai manusia yang berkedudukan sama disisi Tuhan juga dapat kita jumpai pada karya HAMKA yang lain seperti Novel "Merantau ke Deli" dan Novel "Angkatan Baru". Kapan-kapan kita akan coba bahas dilain kesempatan.
Riau, 14 Juli 2023
Awan gelap menghadang, senja tak pernah rapuh untuk berdiri meski sendirian
0 comments:
Post a Comment
- Komentar yang mengandung hujatan, negatif akan dianggap spam
- Komentar link akan dilaporkan ke posyandu terdekat & tidak akan ditampilkan